PAHAM WAHDATUL WUJUD (By Yusdeka)
*Artikel ini adalah tulisan dari seorang pembelajar tasawuf*
**
Oleh Yusdeka Putra (www.yusdeka.wordpress.com)
Kalau membaca buku-buku tentang paham ini, akan lama dan sulit untuk dimengerti, akan tetapi kita akan mencoba mengupasnya dengan sederhana tapi tajam. Intinya adalah sebagai berikut:
Paham ini mengganggap bahwa SELURUH Dzat-Nya kemudian terzahir menjadi SEMUA ciptaan-Nya. Seluruh alam ciptaan ini berasal dari Seluruh Dzat Allah yang menjelma menjadi seluruh ciptaan-Nya. Jadi yang menjadi pusat perhatian disini adalah kata SELURUH atau SEMUA. Sehingga muncullah kesimpulan bahwa Alam dan seluruh isinya adalah sama dengan Allah. Jadi Allah itu adalah kesemua ciptaan, kesemua ciptaan itu adalah Allah. Satu dalam ramai…, ramai dalam satu.
Dalam paham ini, karena seluruh Dzat-Nya, berarti Allah itu sendiri terzahir menjadi ciptaan. Maka Allah itu adalah hakikat Alam. Tidak ada di sana perbedaan diantara Wujud yang Qadim yang digelari Khalik itu dengan wujud yang baru dan yang dinamai makhluk. Tidak ada perbedaan abid dan Ma’bud. Bahkan abid dan Ma’bud adalah satu.
Wahdatul al Wujud tidak membedakan diantara manusia dengan Allah ataupun diantara alam dengan Allah. Yang membedakannya hanyalah huruf besar dan huruf kecil dipermulaan katanya saja. Misalnya, Aku dan aku, Dia dan dia, Engkau dan engkau. Huruf besar dipermulaan adalah untuk Allah dan huruf kecil adalah untuk manusia. Makanya sering muncul kata-kata seperti:
“aku adalah Dia…”,
“engkau adalah Engkau…”,
“aku adalah Aku…”
Dari paham wahdatul wujud ini kemudian berkembanglah paham-paham turunannya yang lain, yaitu:
ITTIHAD: bahwa pada puncak pencapaiannya, manusia pada akhirnya akan bersatu dengan Allah. Fana Fillah. Maqam yang didapatkannya adalah maqam Ainiyah (Dzat Allah keseluruhan).
HULUL: ketika dalam keadaan ITTIHAD (bersatu dengan Allah), terjadi pula penyerapan Roh Allah ke dalam diri manusia. Allah kemudian menjelma menjadi manusia, seperti yang dipakai dalam konsep ketuhanan Kristus di dalam agama Kristen.
BAQA-BILLAH: dalam konsep ini besi yang disimbolkan sebagai manusia dan api yang yang panas yang disimbolkan sebagai Allah. Ketika besi itu dimasukkan kedalam api, maka besi itu sudah menjadi api, tiada perbedaan lagi antara besi dan api. Panas. Tiada perbedaan lagi antara manusia dan Allah. Sama.
SYATAHAT: yaitu munculnya pengakuan dari mulut mereka ketika mereka mengalami ekstasis bahwa mereka adalah Allah: Akulah Al Haq (Al Halaj); Siti jenar tidak ada, yang ada adalah Allah (Syech Lemah Abang); akulah Tuhan (Nasim al Halabi); Yang ada dalam jubahku adalah Allah (Asy Syibli); Subhani… subhani (Abu Yazid Al Bustami); Jadilah aku Maha Kuasa atas segala sesuatu (Abu Al Gais); Jalan wali-wali berusaha kepada kesatuan dan dengan itu selalu berada dalam kemabukan (Ahmad Sirhindi)
Karena keliru dalam memaknai hakikat manusia dan alam, bahwa SELURUH Dzat Allah tercipta menjadi SEMUA ciptaan, maka Allah menjadi sangatlah kecil sekali, sebesar alam ini saja. Walaupun alam ini sangatlah besar, tetapi alam ini tetap bisa dibayangkan. Sehingga ketika kita mengucapkan Allahu Akbar, tidak ada kesan apa-apa yang muncul didalam dada kita. Biasa-biasa saja.
Pengakuan bahwa kita ini adalah Allah muncul ketika kita bisa merasakan keluasan yang amat sangat, seluas alam semesta. Sebab dengan memakai teknik-teknik meditasi tertentu, kitapun bisa merasa seperti sudah menjadi alam semesta yang sangat luas. Dan itu ada RASANYA. Ekstasis, Karam. Dan saat ekstasis itulah pengakuan-pengakuan itu muncul dengan sangat mudahnya. Kita akan mengaku menjadi Allah. Sebab kita “merasa” kemanapun kita menghadap di dalam keluasan itu, yang ada adalah diri kita sendiri yang luas itu. Luas sekali, seluas alam semesta. Karena kita mengganggap bahwa Dzat Allah juga adalah seluas alam semesta, sementara dalam dzikir atau meditasi yang kita lakukan kita sudah menjadi alam semesta itu, maka dengan seketika juga kita bisa berkata dengan mudah “akulah Allah”, akulah Al Haq, maha suci aku…, dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan seperti ini disebut sebagai SYATAHAT.
Karena mengaku, apalagi pengakuan kita itu adalah mengakui diri kita sendiri sebagai Allah, sebagai Kebenaran Mutlak, Kemahasucian, maka kitapun akan disiksa oleh pengakuan kita itu sendiri. Al Halaj, Siti Jenar, Hamzah Fansuri, pada puncak siksaan itu, merekapun harus musnah. Mati dibunuh. Sehingga dengan mati begitu, merekapun bisa merasa lepas dari penderitaan. Bebas dan merdeka. Karena memang menyandang-nyandang, memikul-mikul, membawa-bawa pengakuan itu kemana-mana, yang seharusnya bukan milik mereka, sungguh alangkah beratnya. Berat sekali. Iblis yang hanya mengaku lebih baik dari Adam saja, siksaannya begitu berat. Dan siksaan yang diterima iblis itu akan tetap abadi, sampai waktu yang telah ditentukan oleh Allah.
Lalu selangkah lagi, kitapun akan tidak menjalankan syariat setelah itu. Kita tidak bisa lagi untuk shalat dan melakukan ibadah-ibadah lainnya. Shalat itukan tujuannya untuk menyembah Allah, mengingat Allah. Masak Allah menyembah Allah, ya sulit sekali rasanya. “Masak jeruk makan jeruk”, kata sebuah iklan. Makanya penganut Paham Wahdatul Wujud ini pada akhirnya banyak yang tidak shalat. Kalau hasil dari belajarnya yang membutuhkan waktu sekian lama itu adalah kita tidak shalat, kan kita lebih baik tidak shalat dari sekarang saja. Tidak perlu buang-buang waktu dalam mempelajarinya. Toh akhirnya tidak shalat juga.
Yang sangat dipentingkan dalam paham ini adalah Dzikir sebanyak-banyaknya dengan cara mengulang-ngulang kalimat-kalimat Thayyibah tertentu dan tambahan-tambahan lainnya yang fungsinya serupa dengan mantra-mantra dalam aliran esoteris lainnya.
Bersambung.
http://tmi-miftahulhuda.or.id/profil/